Prasasti Plumpungan, Saksi Bisu Sejarah Kerajaan Mataram Kuno di Salatiga

Konsep Otomatis

Prasasti Plumpungan, yang terletak di Salatiga, Jawa Tengah, merupakan salah satu artefak bersejarah yang penting dalam memahami sejarah awal Indonesia.

Dibuat pada abad ke-9 Masehi, prasasti ini terukir di batu andesit besar dan menyimpan inskripsi yang memberikan gambaran tentang struktur sosial dan sistem pemerintahan pada masa Kerajaan Mataram Kuno.

Prasasti ini dianggap sakral karena juga berfungsi sebagai batas wilayah yang memproklamasikan perlindungan raja kepada penduduk setempat.

Dengan aksara Kawi dan bahasa Sansekerta, Prasasti Plumpungan tidak hanya menarik bagi para sejarawan dan arkeolog tetapi juga bagi siapa saja yang tertarik dengan sejarah dan budaya Jawa.

Keberadaannya sebagai saksi bisu masa lalu, menawarkan wawasan yang berharga tentang kehidupan dan peradaban yang pernah berkembang di tanah Jawa.

Konsep Otomatis

Sekilas Mengenai Prasasti Plumpungan

Prasasti Plumpungan sebagai Tempat Wisata di Salatiga yang cukup popular diperkirakan dibuat pada Jumat, 24 Juli 750 Masehi, adalah karya Citraleka, seorang penulis atau pujangga, dengan bantuan beberapa resi atau pendeta, dan ditulis dalam bahasa Jawa kuno.

Wilayah Hampra yang disebutkan dalam prasasti ini adalah tanah perdikan, yaitu tanah yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak atau upeti sebagai penghargaan dari raja kepada daerah dengan jasa khusus.

Status tanah swatantra atau perdikan ini merupakan pengakuan atas jasa yang diberikan suatu daerah kepada raja.

Sejarawan percaya bahwa masyarakat Hampra telah memberikan kontribusi penting kepada Raja Bhanu, seorang pemimpin yang sangat memperhatikan rakyatnya dan yang wilayah kekuasaannya mencakup area sekitar Salatiga, Kabupaten Semarang, Ambarawa, dan Kabupaten Boyolali.

Prasasti ini juga yang menetapkan tanggal pembuatannya, 24 Juli 750 Masehi, sebagai Hari Jadi Kota Salatiga.

Konten dari Prasasti Plumpungan

Prasasti Plumpungan, yang dibuat pada tahun 672 Saka atau 24 Juli 750 Masehi, ditulis dalam aksara Jawa Kuno dan berbahasa Sanskerta. Prasasti ini, yang juga dikenal dengan nama Prasasti Hampra, memiliki panjang 170 cm dan lebar 160 cm, dengan keliling total sekitar 5 meter.

Isi dari Prasasti Plumpungan yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:

Semoga sejahtera, salam kepada semua rakyat. Tahun Saka 672 telah berlalu, bertepatan dengan hari Selasa, tanggal 21 bulan 5, pada tengah hari.

Berdasarkan ajaran dharma yang suci dan dengan berkat pengabdian kepada dewa yang agung, diberikanlah tanah perdikan yang membawa kesejahteraan kepada penduduk Desa Hampra, yang terletak di wilayah Trigramwya.

(Mereka) menerima berkat atas persetujuan dari raja putri yang sempurna. Sebagai hasilnya, didirikan wilayah s?ma di daerah tersebut. Inisiatif sedekah tanah ini berasal dari seseorang bernama Bhanu, yang telah mendirikan tempat suci ini di dunia dan untuk kehidupan abadi.

Prasasti Plumpungan secara spesifik menyatakan status tanah perdikan (tanah bebas pajak) untuk Desa Hampra, yang saat ini dikenal sebagai Salatiga. Tanah perdikan umumnya diberikan kepada desa atau wilayah yang telah memberikan jasa signifikan kepada raja.

Prasasti ini ditulis oleh Citraleka, yang kini disebut sebagai pujangga, dibantu oleh beberapa pendeta atau resi. Nama Bhanu yang disebutkan dalam prasasti merupakan seorang raja yang sangat peduli terhadap rakyatnya.

Diperkirakan, wilayah kekuasaannya meliputi area sekitar Salatiga, Semarang, Ambarawa, dan Boyolali. Meskipun diperkirakan hidup bersamaan dengan Rakai Panangkaran, raja kedua Mataram Kuno, hubungan antara Bhanu dan Rakai Panangkaran masih belum diketahui.

Baca Juga: Tempat Wisata di Boyolali Lagi Hits dan Instagramable, Wajib Dikunjungi!

Prasasti Plumpungan tidak hanya merupakan dokumen sejarah yang penting, tetapi juga cerminan dari kebudayaan dan sistem pemerintahan Jawa kuno.

Melalui aksara dan bahasa yang digunakan, serta konten yang ditawarkannya, prasasti ini memberikan wawasan berharga tentang kehidupan sosial, spiritual, dan politik di era Mataram Kuno.

Status tanah perdikan yang dicatat dalam prasasti menunjukkan adanya pengakuan dan penghargaan atas jasa-jasa yang diberikan oleh masyarakat lokal, menggambarkan hubungan simbiosis antara raja dan rakyatnya yang saling mendukung.

Prasasti Plumpungan tidak hanya penting bagi sejarawan dan arkeolog, tetapi juga bagi masyarakat luas sebagai saksi bisu dari keadilan dan kemurahan hati pemerintahan masa lalu, serta sebagai simbol identitas dan kebanggaan budaya untuk kota Salatiga dan Indonesia secara lebih luas.